Sabtu, 26 Maret 2011

Berbicara tentang Komunitas Film dan Film Independen Indonesia


<b>Berbicara tentang Komunitas Film dan Film Independen Indonesia</b>

 

Lahirnya Komunitas Film di Indonesia


Belakangan ini, pergerakan komunitas film yang telah menyusup hingga ke pelosok Indonesia makin terasa kuat dan tak terpatahkan. Apabila rajin mengamati berita lewat milis perfilman, beberapa bulan sekali kita akan menerima e-mail yang bertajuk ‘calling for submission’ karya-karya film Indonesia. Beberapa ajang mengkhususkan pemutaran mereka pada film-film pendek, beberapa pada karya dokumenter. Belum lagi ruang-ruang alternatif yang dengan sukarela (dan tak jarang heroik) menyediakan tempat mereka secara gratis bagi para filmmaker muda yang ingin memutar karya mereka dan membuka forum diskusi dengan para penonton secara langsung.
Festival film bergulir, ruang-ruang alternatif semakin gencar menjaring komunitas pembuat film (bahkan merekrut mereka dalam satu atap), dan para pembuat film yang kadang hanya bermodal kenekatan, video kamera, dan komputer sebagai alat editing pun semakin berani memproduksi film. Dalam penilaian sebuah karya, mutu film-film tersebut memang kadang tidak memenuhi standar kriteria sebuah film yang baik dan benar, namun bukankah segalanya bermula dari impian dan semangat untuk mewujudkannya?
Apa yang membuat semangat para pembuat film dan komunitas ini tiba-tiba berkobar kembali? Apabila kita runut dari perkembangannya sejak awal, komunitas film independen dapat dikatakan pertama kali muncul tidak lama setelah Indonesia memiliki institusi pendidikan filmnya yang pertama di tahun 1970. Ketika itu Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Lomba Film Mini yang diikuti secara antusias oleh seniman di luar film maupun para maha-siswa sinematografi LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, kini IKJ). Karya-karya yang masuk beragam, namun mayoritas bernuansa ‘amatiran’ (saat itu hampir semua karya meng-gunakan media film 8mm yang harganya terjangkau). Semangat lomba tersebut menular pada sebagian mahasiswa sinematografi LPKJ, yang kemudian melahirkan sebuah gerakan bernama “Sinema Delapan”, di mana semua film yang dihasilkan harus menggunakan media film 8mm. Semangat ini, terutama, lahir sebagai gerakan penentangan terhadap kemapanan industri film Indonesia yang ketika itu mengalami perkembangan luar biasa di mana 125 film dilahirkan dalam satu tahunnya. Namun karena kurangnya dukungan, Sinema Delapan hanya bisa bertahan satu tahun.
Setelah satu dekade vakum tanpa adanya pergerakan yang berarti, muncullah Forum Film Pendek (FFP) di tahun 1980an. Pendiri dan anggota yang berasal dari macam-macam latar belakang membuat gerakan ini lebih terasa signifikan. FFP menciptakan isu nasional dan memutar film hingga ke Medan, Lombok, Bali. FFP juga tercatat sebagai komunitas yang pertama kali memformulasikan film pendek sebagai film alternatif dan independen. Semenjak kelahiran FFP yang salah satu misinya adalah memperkenalkan film sebagai karya seni hingga ke luar negeri, film-film pendek Indonesia mulai dikirim untuk mengikuti ajang festival film mancanegara. Hal ini tentu saja memberi semangat lebih kepada para pembuat film muda untuk berkarya, walau kebanyakan dari mereka masih berlatar belakang pendidikan sinematografi. Salah satu prestasi awal yang dicapai film pendek Indonesia adalah ketika film pendek Gotot Prakosa diundang untuk diputar di Oberhausen Film Festival, Jerman, sebuah festival film pendek tertua dan paling bergengsi di dunia.
Walau komunitas film di dekade 80 dan awal 90-an tidak sebanyak sekarang, namun dengan keterbukaan peluang untuk berkarya, gerakan-gerakan yang sifatnya lebih individual dan tertutup mulai berkembang di Indonesia, terutama di Jakarta. Pembicaraan dan wacana film mulai beredar tidak hanya di kalangan akademisi dan penggiat film, tetapi juga praktisi seni visual dan penikmat budaya pop. Hal ini muncul sejalan dengan masuknya program MTV di layar kaca. Antusiasme para produser dan pemusik yang berlomba untuk mempopulerkan lagu-lagu mereka lewat video musik (di Indonesia lebih popular dengan sebutan video klip) membuat sebuah industri baru dalam dunia gambar bergerak Indonesia.
Walaupun hakikat video musik di Indonesia terkadang tidak lebih sebagai alat promosi dan seringkali dinilai dari segi estetisnya belaka, industri ini membuat anak-anak muda mulai terjun ke dunia tersebut, selain aktif di film iklan dan produksi acara TV. Semangat anak-anak muda ini adalah angin segar, terutama di kala perfilman Indonesia sedang berada dalam titik terendahnya di mana 95% film Indonesia yang diproduksi antara 1994-1998 adalah film khusus dewasa alias esek-esek.
Tahun 1997 menjadi tahun penting bagi perubahan film Indonesia yang mati suri (bukan mati produksi, tapi mati kualitas!). Di tahun ini Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan jargon tenarnya, yaitu Sinema Gerilya. Dalam tulisannya SGA mengatakan bahwa “jika ingin ada orang menonton film Indonesia, masyarakat penonton itu harus diciptakan dulu” dan “kebangkitan perfilman Indonesia akan sangat bergantung pada karya pribadi yang kuat.” Buah pikiran Seno Gumira ini lahir hampir bersamaan dengan produksi film panjang independen pertama Indonesia, Kuldesak, sebuah film gabungan dari empat cerita/film pendek yang dilahirkan oleh semangat muda-mudi penggiat film Indonesia atas nama gerakan Sinema Independen. Mereka adalah Mira Lesmana, Riri Riza, Nan Achnas, Shanty Harmayn, Rizal Mantovani (keempat na-ma yang disebutkan di awal kini menggawangi produksi film berkualitas Indonesia). Film yang didanai sendiri oleh keempat sutradaranya ini menggunakan teknologi digital (video) dan mengusung cerita yang tidak biasa pada saat itu: potret kegelisahan anak muda melalui kacamata anak muda itu sendiri.
Film Kuldesak, dengan gebrakan tema, budget produksi dan medium yang digunakannya, bersama dengan “Sinema Gerilya” SGA, tidak bisa dipungkiri memulai babak baru dalam sinema independen Indonesia. Bermula dari itu, perlahan-lahan tumbuh komunitas film di Indonesia, sebagian memfokuskan diri hanya pada apresiasi, sebagian lainnya langsung terjun ke dunia praktek dengan memproduksi film-film pendek, dokumenter, maupun feature film. Di tahun 2000 saja tercatat 6 film feature independen yang semuanya diproduksi dalam medium digital: Beth/Aria Kusumadewa, Bintang Jatuh/Rudi Soedjarwo, Jakarta Project/Indra Yudhistira, Pachinko & Everyone’s Happy/Harry Suharyadi, Tragedi/Rudi Soedjarwo, Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta/Enison Sinaro.
Runtuhnya orde baru yang mencapai puncaknya di tahun 1998 membawa kemerdekaan bagi banyak anak muda untuk lepas dari doktrin ‘silence is golden’. Darah-darah muda (dengan gelora barunya) meneriakkan kata-kata ‘independen!’ pada saat yang bersamaan, hampir pada semua jenis bidang kreatifitas. Keadaan ekstatik yang awalnya bersifat individualistis ini perlahan memijakkan diri dengan membentuk institusi-institusi informal (atau komunitas) yang bermula di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta.
Berbagai elemen secara tidak langsung namun simultan mendukung perkembangan sinema independen Indonesia saat itu (dan terus berlangsung hingga kini):
1. Kemudahan dan semakin terjangkaunya pembuatan film dengan teknologi digital (kamera video digital dan non-linear editing di komputer).
2. Hadirnya Festival Film dan Video Independen Indonesia (kini menjadi Festival Film Pendek Indonesia, yang kemudian menginspirasi festival-festival film independen lokal lain-nya) dan Jakarta International Film Festival sebagai festival film internasional di tahun 1999, menghadirkan referensi dan semangat baru bagi para pembuat maupun penikmat film.
3. Meluasnya jaringan internet yang membuka cakrawala pendidikan non-formal secara general, khususnya perfilman.
4. VCD dan DVD bajakan (bagaimanapun tidak dapat dilegitimasikan), ‘membunuh’ tradisi menonton bioskop masyarakat Indonesia, namun juga membantu membuka wacana baru bagi para pembuat film muda dengan referensi-referensi film internasionalnya.
Faktor pendukung di atas melahirkan ruang-ruang alternatif yang tidak hanya dikelola di bawah naungan individu/organisasi non-formal, tetapi juga pusat-pusat kebudayaan, kampus-kampus. Lahirnya karya-karya film independen Indonesia dengan sendirinya memaksa ‘keran-keran’ kebudayaan ini untuk membuka diri dan mendukung perkembangan jaman, yaitu jaman para generasi X dan Y (yang terkenal dengan kecuekkan, kecerdikan, kemandirian, dan tentu-nya, kegilaan pada teknologi). Saat ini, tidak kurang dari 80 komunitas film di kota besar dan pelosok Indonesia menjalankan kegiatannya secara mandiri dengan mengadakan pemutaran film dan diskusi secara reguler, produksi film, bahkan beberapa mulai berani memposisikan institusi mereka sebagai distributor film. (Untuk lebih jelas, lihat daftar ‘Data Komunitas Film Indonesia’, di website www.datakomunitas.wordpress.com dan baru-baru ini berganti nama menjadi www.filmalternatif.org).
Hampir seluruh komunitas film di Indonesia tidak menggantungkan diri mereka pada dana dari funding, terlebih pemerintah. Rasa-rasanya agak sulit untuk mengharapkan dukungan dari pemerintah, mengingat film nasional (baca: film Indonesia arus utama) pun masih dilirik setengah mata oleh para petinggi tersebut. Namun hal ini justru mengakibatkan perasaan senasib sepenanggungan yang kuat di antara para penggiat komunitas film di Indonesia. Masing-masing sadar betul bahwa daya jangkau mereka akan semakin lebar dengan adanya sinergi yang matang satu sama lain. Seperti contoh, komunitas Minikino yang berbasis di Denpasar, mengadakan acara monthly screening mereka di lima tempat di bawah naungan komunitas-komunitas film lokal Bandung, Jakarta, dan Denpasar. Bahkan beberapa komunitas film (Kineruku/Bandung, Kinoki/Yogyakarta, Arisan Film Forum/Purwokerto) kini bergabung untuk menerbitkan jurnal kajian film empat bulanan yang akan didistribusikan di sebanyak mungkin titik di seluruh Indonesia. Keinginan ini tidak terlepas dari keinginan masing-masing komunitas untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman (teknis maupun apresiatif), serta menciptakan masyarakat penonton yang kritis dan apresiatif.
Perlahan, rupanya impian Seno Gumira Ajidarma atas terciptanya kembali ‘penonton film Indonesia’ mulai terwujud, dan gerakan-gerakan masif yang sifatnya apresiatif tersebut ironisnya justru bermekaran dari komunitas-komunitas film yang senantiasa bergerak di bawah radar.

Independen dan.. Hmm… Pokoknya Independen!


Ketika kata ‘independen’ yang kerap mengembel-embeli lahan utama kreatifitas anak muda –musik dan film– terus dikumandangkan di televisi, radio, bahkan koran-koran Indonesia, berapa banyak dari kita yang tahu benar makna di baliknya? Bagi anak-anak muda masa kini, rupanya kata ‘independen’ terlanjur bernasib layaknya merk dan jargon pencitraan ketimbang sebuah idealisme.
Secara etimologi, kata ‘independen’ adalah sebuah kata sifat yang berarti ‘bebas dari kontrol luar dan tidak tergantung pada otoritas tertentu’, sebuah definisi yang memang cocok disematkan pada gelora darah muda.
Sebelum kita mencari tahu tentang asal-muasal film independen, simak dahulu tanya jawab tentang definisi film indie seperti dimuat di koran Pikiran Rakyat. Film Indie Itu…
Winda, IPA 1 SMAN 24: “Film yang dibikin sendiri, enggak banyak orang terkenal yang maenin. Modalnya enggak gede, dan enggak disebarin di seluruh Indonesia.”
Hana, IPA 4 SMAN 24: “Film yang dibuat sendiri. Setau aku ada festivalnya dan enggak diputar di bioskop.”
Devi, IPA 4 SMAN 24: “Bikinan sendiri, kurang terkenal, dan salah satu wadah untuk jadi bin-tang. Batu loncatan sebelum tenar gitu.”
Ika, IPA 3 SMAN 24: “Aku belum pernah liat. Setau aku orang-orangnya enggak terkenal. “
Theo, penyiar: “Hebat. Berkarya tanpa memikirkan biaya. Hasilnya juga lebih keren, soalnya bisa idealis tanpa memikirkan pasar.”
Filmsindie.com: “Film Independent ini adalah film yang dibuat dengan melawan peraturan, mak-sudnya film-film yang sekiranya biasa “Goes To Kampus”. Film Independent ini biasanya dipa-sang di kampus-kampus, yang diperkenalkan oleh Aria Kusumadewa.”
Jawaban para koresponden di atas (yang mungkin memutar bola matanya sampai tujuh kali sebelum menjawab) walau lebih terdengar sebagai tebakan ketimbang paparan, dapat merepresentasikan pandangan masyarakat atas film independen di Indonesia, yaitu: film yang dibuat sendiri dengan bujet minim –dan oleh karenanya seringkali tampak ala kadarnya dengan bintang yang juga ‘seadanya’– dan tidak beredar di bioskop utama. Oleh karenanya tidak ja-rang orang mempersepsikan film independen sebagai film berkualitas buruk: pencahayaan, teknik kamera, dan akting yang tidak memadai. Hal ini wajar saja terjadi, mengingat kualitas film independen Indonesia masih jauh dari standar sinematik secara umum. Namun yang merisaukan adalah ketika para pembuat film muda (baca: independen) kini berlomba-lomba mengejar ketertinggalan dalam masalah teknis, mereka melupakan hakikat utama sebuah film independen, yaitu idealisme kekaryaan. Tidakkah mengenaskan apabila dalam beberapa tahun ke depan kita melihat film independen Indonesia layaknya videografi pre-wedding yang indah.. dan indah saja?
Istilah ‘film independen’ sendiri lahir di Amerika Serikat di pertengahan 1960. Ketika itu filmmaker-filmmaker muda berbakat seperti Steven Spielberg, George Lucas, John Cassavetes, Stanley Kubrick, Martin Scorsese jengah melihat keadaan industri Hollywood yang terlalu mapan dan eksklusif. Hollywood (bahkan hingga kini) menutup kemungkinan sutradara-sutradara muda untuk berkecimpung kerja dalam lingkaran mereka. Pemilihan sutradara, juga aktor, hanya berkisar pada orang-orang yang telah memiliki reputasi sebagai pembuat film handal (baca: yang dapat mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi studio film dan pendana). Dari keinginan untuk mendobrak kemapanan gurita industri inilah lahir sebuah gerakan film yang mereka sebut ‘film independen’. Kelima sutradara tersebut kemudian merombak cara kerja perfilman di Amerika Serikat dan melahirkan karya-karya awal yang monumental. Namun, setelah mendapatkan reputasi, karya-karya mereka pun berubah menjadi lebih mapan, bahkan akhirnya menjadi bagian industri Hollywood itu sendiri. Dari kelima nama di atas, ha-nya John Cassavetes yang terus berkarir di jalur independen dan melahirkan karya-karya eksperimental yang hingga kini disebut sebagai masterpiece film independen seperti Shadows, A Woman Under the Influence, dan The Killing of A Chinese Bokie. Entah faktor kebetulan atau tidak, di antara kelima sutradara tersebut di atas, hanya Cassevetes-lah yang tidak berlatar belakang pendidikan film.
Entah karena rasa bersalah, atau sebagai penghormatan terhadap perjuangan mereka dahulu, Steven Spielberg dan George Lucas (dua sutradara terkaya dunia) kini mendirikan studio-studio film untuk terus mendukung berkembangnya film-film independen Amerika Serikat. Tidak heran apabila di balik industri Hollywood yang besar itu, film-film ‘bawah radar’ Amerika Serikat pun secara statistik merajai sinema independen dunia. Hal ini tentunya dibantu dengan kuatnya jaringan distribusi film independen di negeri tersebut, juga maraknya penyeleng-garaan festival film khusus independen (diprakarsai oleh salah satunya Sundance Film Festival di tahun 1978), dan kini ditambah dengan berkembangnya internet si raja promosi dan distribusi do it yourself. Hampir segala seluk-beluk tentang dunia film independen kini dapat dipelajari melalui internet, salah satunya adalah melalui situs www.workbookproject.com yang diprakarsai oleh Lance Weiller –mulai dari strategi pendanaan, pembuatan, produksi, paska-produksi, promosi dan distribusi. Film-film independen mancanegara pun telah banyak yang dibuat khusus untuk konsumsi internet, bahkan di telepon genggam. Di satu sisi hal tersebut tentunya mereduksi makna sinema yang selama ini identik dengan bioskop sebagai tempat eksibisi utama, namun di lain sisi membuka cakrawala dunia gambar bergerak ke pasar yang lebih luas dengan akses yang mudah dan terjangkau.
Bicara tentang film independen di Indonesia memang agak membingungkan. Bila memang benar ‘independen’ dekat dengan anarkisme, pemberontakan melawan kemapanan, lalu tipe anarkisme macam apakah yang diusung oleh film independen Indonesia? Atau, kemapanan seperti apa? Tidakkah film-film yang dianggap telah mapan bentuk dan teknis (seperti karya-karya SET, Miles, Salto, dan Kalyana Shira Films), juga mengusung anarkisme yang kuat dalam bentuk ide, dan terkadang juga cara eksibisi dan distribusi?
Walau setiap orang menginterpretasikan ‘film independen’ secara berlainan, Moran & Willis melontarkan suatu penjelasan yang mendekati ketepatan (atau saya anggap paling mewakili): “Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor. Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm) melawan profesional (35mm). Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara massal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual. Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan kecenderungan umum.” (dikutip dari Kemajemukan Karya Sinema Indonesia: Sebuah Cita-cita? oleh Alex Sihar).
Melihat definisi di atas, rasanya jelas bahwa sebuah film independen seharusnya adalah sebuah ‘pemberontakan’ yang menyeluruh, matang dalam pemikiran dan pernyataan, dan tercipta dari kecintaan sang pembuat terhadap dunia film dan hakikat film yang bukanlah alat hiburan semata. Membawa semangat yang benar, sebuah film independen harus mampu menghadirkan kesegaran secara terus-menerus dalam dunia sinema Indonesia yang perlahan tapi pasti menggiring masyarakatnya menuju suatu hegemoni tema dan bentuk.

Ariani Darmawan, 27 Agustus 2007
 Artikel di ambil dari www.zine.rukukineruku.com